Link Khusus

ads here

Hutan Batang Toru 'Harta Karun' Masyarakat Desa Sabaon

advertise here

Foto Istimewa. 
MEDAN, SUMATERA UTARA - Jalanan tampak masih basah, selepas hujan yang mengguyur semalam. Suhunya mendekati 15 derajat celcius, dengan kabut tebal pekat yang menggulum dan menyebar menyelimuti seluruh ruang udara perbukitan hutan Batang Toru. Kabutnya putih seperti awan.

Pagi itu sekira pukul 06.21 WIB, langit belum sepenuhnya terang. Tapi kaki-kaki tua berbalut sepatu booth terlihat sudah menapak jalanan. Mereka bergegas menuju hamparan hijau persawahan dan perkebunan sayur yang di kelilingi gugusan perbukitan.

Disinilah, di Desa Sabaon Kecamatan Marancar Kabupaten Tapanuli Selatan, tempat yang disebut sebagai 'harta karun', menjadi tumpuan hidup, sebagai penghilang lapar dan pendulang materi. Semuanya disediakan alam, lewat tanah yang subur dan air yang mengalir tanpa hambatan dari Hutan Batang Toru.

Salah satu warga Marancar, sebagai petani padi, Sahat Simatupang mengaku, sangat bergantung dengan keberadaan hutan Batang Toru. Sebab selain untuk pemanfaatan air minum, juga pertanian. Mayoritas masyarakat masih berprofesi sebagai petani.
 
Pakar Hidrologi Lingkungan, Edi Purwanto menjelaskan, secara hidrologis, hutan Batang Toru memiliki peran sebagai penghasil air, pengatur tata air dan pendorong curah hujan di suatu wilayah.

Sebab hutan-hutan yang memiliki ketinggian di atas seribu meter, selalu tertutup permukaan kabut. Vegetasi hutan dengan kondisi seperti ini berfungsi sebagai penangkap kabut, yang nantinya akan mentransfer kabut menjadi air dan mengisi ke daerah resapan di hilir, baik saat musim hujan atau kemarau.

''Hutan Batang Toru juga berfungsi sebagai tata air, dimana hutan dengan sebutan karet busa menyerap hujan saat musim hujan, dan melepaskan air pada saat musim kemarau. Keberadaan hutan yang luas akan mendorong atau menstimulasi timbulnya awan, dimana itu akan menimbulkan hujan di suatu wilayah itu sendiri,'' kata Edi.

Dijabarkan Edi, jika luasan hutan Batang Toru kondisinya masih tetap terjaga dengan baik, maka serat fisik tanahnya dapat dengan sempurna meresap dari setiap tetes air-air hujan ketika musim hujan, dan mengaliri ke daerah hilir cara melambat pada musim kemarau.

Namun dikhawatirkan, jika hutan terkonversi atau teralih fungsi, maka kapasitas resapan air akan berkurang, sehingga fungsih karet busanya akan hilang,dan dapat memicu terjadinya erosi.

Maka menjadi penting untuk melestarikan hutan yang berada di tiga kawasan ini, yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, karena peranan-nya menjadi pensuplai air ke daerah aliran sungai (DAS).

Menurut Edi, karena gugusan hutan Batang Toru berada di tiga kabupaten, maka pelaku kepentingannya harus memiliki kebijakan pengelolaan sumber daya alam ini agar dapat menjaga kelestariannya.

''Jika ada berbagai kegiatan yang tidak sesuai pelestarian batang toru dapat dihindari,'' sampai Edi.
 
Yayan Ekosistem Lestari (YEL) mencatat, hutan Batang Toru merupakan ekosistem yang sangat unik dengan keaneka ragaman hayati yang tinggi dan perlindungan terhadap 10 DAS dan sub DAS di wilayah Tapanuli, Sumatera Utara.

Secara administratif, Kawasan Hutan Batang Toru merupakan bagian dari tiga wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Topografi yang curam dengan kelerengan diatas 40 persen di beberapa bagian membuat Kawasan Hutan Batang Toru sangat berperan dalam penyediaan air, mencegah banjir, erosi dan tanah longsor di wilayah sekitarnya.

Sayangnya, topografi Kawasan Hutan Batang Toru tidak mampu mencegah perambahan liar yang secara dramatis menyebabkan menurunnya kemampuan kawasan tersebut sebagai penyedia jasa lingkungan.

Terlebih karena hanya 18,6 persen dari total keseluruhan kawasan tersebut yang merupakan kawasan lindung dan/atau Suaka Alam. Sementara selebihnya berstatus hutan produksi dan Areal Penggunaan Lain (APL).

Manajer Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Khairuddin mengatakan, degradasi kawasan hutan menjadi perkebunan ataupun permukiman penduduk, ditambah faktor perubahan iklim yang menyebabkan kebakaran hutan dan perdagangan ilegal,  menjadi ancaman terbesar keberlangsungan hidup satwa, salah satunya orang utan.

Populasi orang utan Sumatera kian terancam. Jumlahnya terus menyusut, dimana kini hanya sebanyak 4.136 ekor pada 2015 yang tersebar di wilayah yakni di Tanah Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan hutan Batang Toru, Sumatera Utara, kemudian di Aceh hingga Jambi. 

Jumlah populasi orang utan diprediksi terus berkurang, jika alih fungsi kawasan hutan kian masif. Sebab hal itu menyebabkan ketersediaan pangannya berkurang. Adapun hampir 60 persen konsumsi pangan berasal dari buah-buahan, lalu sisanya pucuk daun, serangga dan mineral.

''Untuk memperkecil angka orang utan agar tidak semakin menciut, beragam upaya dilakukan,  salah satunya memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kawasan hutan, dan menerapkan kearifan lingkungan,'' jelas Khairuddin.

Adapun sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, ada saksi berupa hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Kepala Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Sumatera, Halasan Tulus mengatakan, agar proses penegakan hukum kepada pelaku kejahatan di bidang lingkungan dapat berjalan dengan baik.

Kesepakatan kerjasama dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) akan dilakukan. Sehingga kedua lembaga institusi ini dapat saling bersinergi melakukan penyelidikan pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan kehutanan, bagian hukum, pemantauan evaluasi dan pelaporan anggaran ijin lingkungan hidup.

Problematikan dalam penegakan hukum Tindak Pidana Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Tipihut), karena masih menggunakan produk hukum orde baru, sehingga terdapat ketidaksempurnaan dalam perumusan tindak pidana, sanksi hingga kewenangan melakukan penahanan walau kasusnya sudah lengkap (P21).

''Faktor lainnya yang menjadi kendalam dalam penegakan hukum, yakni masih terbatasnya sumber daya manusia (SDM), kemudian faktor sarana dan prasarana, kesadaran masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan masih sangat rendah, dimana lebih mementingkan keuntungan daripada kelestarian,'' ungkap Khairuddin.

Sekretaris Hutan Raya Institut (HaRi), Saurlin Siagian mengatakan, kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesi sangat besar, dengan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km kubik atau 70 persen dari luas total di Indonesia.

Kemudian potensi ekonomi mencapai 800 miliar dollar amerika, termasuk sumber daya laut mencapai 7.200 triliiun pertahun, yang setara dengan tiga kali total anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2016, serta kekayaan alam lainnya. Menjadi masalah, dengan SDA yang ada, justru menimbulkan ketimpang dan menimbulkan kejahatan lingkungan hidup. 

''Contohnya, di Kabupaten Tapanuli, banyak masyarakat yang harus mengalami diskriminasi dan kriminalisasi karena tanah di serobot dan diambil alih kepemilikannya,'' jelas Saurlin.

Pengurus Pusat Sarekat Hijau Indonesia, Kusnadi mengatakan, emisi gas rumah kaca salah satunya bersumber dari deforestasi (konservasi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, permukiman, pertambangan, prasarana wilayah).

Kemudian degradasi (penurunan kualitas hutan)akibat illegal loging, kebakara, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan).

Sesuai fungsinya, hutan tropis mampu menyimpan karbon sektor 40 persen dari hutan dunia. Maka hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan gas rumah kaca, karena kapitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon.

''Hutan Batang Toru merupakan salah satu ekosistem penting pewakil hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Sumatera bersama beberapa ekosistem lainnya seperti ekosistem hutan dalam kawasan taman nasional,'' beber Kusnadi.

Namun seiring berjalannya waktu kawasan hutan Batang Toru telah mendapatkan berbagai tekanan baik dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam kayu maupun tambang. Keterbukaan akses yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang efektif memicu kecenderungan alih fungsi lahan, sehingga berdampak kepada fragmentasi kawasan hutan dan deforestasi lahan.

Hutan adalah paru-paru dunia yang sangat penting bagi kehidupan. Hutan menjadi sumber oksigen paling berpengaruh bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu, menjaga kelestarian hutan, juga berpengaruh bagi kehidupan di muka bumi ini.

Penulis : @rerereririri