Foto Istimewa. |
MEDAN, SUMATERA UTARA - Asap mengepul dari atas wajan yang beradu dengan sutil. Suaranya yang terdengar konstan itu sedikit berisik. Tapi melodi perkakas dapur yang sedari tadi menimbulkan efek karena terdapat kelapa yang tengah di gongseng bersama dengan bumbu, seketika membentuk air liur.
Tidak bisa dihindar, aroma menu anyang yang telah menyebar ke seluruh ruangan dapur itu terasa begitu khas dan menggairahkan. Saat di makan, rasanya sungguh enak. Segar di mulut dan harum. Bahkan membuat ketagihan.
Sebab tidak cukup bila memakan sedikit. Ini lah anyang, sang maestro, salah satu panganan favorite di kalangan masyarakat Melayu. Salad tradisional dari negeri Deli.
Membentuk aroma khas dan enak itupun terbilang tak sebentar. Sebab Zahri, pria keturunan ke 14 dari Kesultanan Deli yang sangat cinta dengan menu khas itu, butuh waktu 2 jam lebih untuk membentuk kesempurnaan anyang menjadi menu di atas meja yang siap di makan.
Sebab menu berbahan baku utama dari kelapa ini harus terus di masak di atas api hingga benar-benar kering tanpa gosong. Sedangkan bumbunya ada beberapa macam. Ditambah sayuran seperti pakis sebagai pelengkap utama.
Untuk membuatnya pun diakui Zahri, tidak sulit. Sebagai orang yang lihai memasak berkat bakat turunan atas kepiawaian orang tuanya, anyang merupakan salah satunya yang gampang dibuat.
Hanya perlu menggongseng kelapa di atas wajan, juga udang kering dan udang basah. Bila sudah kering, lalu bahan baku tadi di tumbuk hingga sedikit halus. Lalu ada bumbu seperti bawang bersama dengan cabai yang di haluskan. Serta dilengkapi bawang merah, cabai, serai dan daun jeruk yang dipotong halus.
''Segala bahan baku itu kemudian di campur dengan pakis yang telah di rebus terlebih dahulu,'' kata Zahri.
Selain pakis, anyang juga bisa dibuat dengan bahan baku seperti tauge atau jantung pisang. Cara membuatnya, serta bumbunya pun sama. Namun memang diakui Zahri, bahwa yang paling popular adalah pakis.
Bagi Zahri dan keluarga, Anyang yang merupakan pelengkap menu dari bubur pedas ini wajib ada di meja makan, khususnya ketika Ramadhan. Baginya, makan bubur pedas tanpa anyang, seperti sayur tanpa garam.
Sebab bubur pedas yang memberikan sensasi menghangatkan pada tubuh, serta baik untuk pencernaan, akan menjadi sempurna dengan anyang yang memberikan sensasi segar dan wangi pada mulut saat memakannya karena terdapat irisan daun jeruk dan limau.
Bicara mengenai sejarah, Zahri yang tidak begitu fasih menjabarkan, bahwa anyang yang tidak hanya menjadi menu favorite di meja kesultanan juga masyarakat umum ini ada karena memang bahan bakunya mudah di dapat dan bahkan tersedia di pekarangan rumah pada kala itu.
Di samping itu, rasanya yang enak turut di sukai masyarakat lainnya yang bukan keturunan Melayu, karena seperti salad. Sebagi menu tradisional Melayu, pria berusia 56 tahun inipun telah mewariskan ilmu memasaknya ke anak-anaknya.
Tujuannya untuk menjaga dan melanjutkan makanan tradisi budaya tidak hilang di telan zaman modern. Langkah itu diambil dimulai dari keluarganya, kemudian ditularkan ke orang lain agar turut sama-sama menjaga.
Baginya pribadi, sebagai orang yang sejak kecil sudah akrab dengan menu-menu melayu tersebut, akan merasa sedih bila panganan kesukaannya hingga dewasa ini, menjadi hilang dan sulit di jumpai.
Dengan zaman yang terus berkembang, memang seharusnya masyarakat tidak lupa dengan sejarah, tradisi dan budaya. Menjaga dengan melestarikan apa yang ada, bukan berarti menolak ke modrenan. Sebab zaman boleh berubah, tapi warisan nenek moyang merupakan warna dari khazanah ke tradisional-an yang tidak kuno di telan waktu.