Link Khusus

ads here

Tarian Sejak Tahun 1828 Itu Masih Dilestarikan di Pulau Terluar Ini...

advertise here
Alat Tiup Pulau Enggano Kamiyu
BENGKULU - Enggano merupakan salah pulau terluar milik Indonesia, yang berada di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pulau yang terpaut sekira 175 km dari Kota Bengkulu, 123 km dari Kota Manna Kabupaten Bengkulu Selatan, 133 km dari Kota Bintuhan Kabupaten Kaur ini, masih kental dengan adat istiadatnya. 

Bahkan, pulau yang memiliki lima suku asli dan satu suku pendatang ini tetap menjaga dan melestarikan seni budaya tari perang, yang diketahui sudah ada kisaran tahun 1828 silam. 

Tari perang sendiri merupakan tarian kebesaran adat masyarakat Enggano, yang dipertunjukkan ketika ada pesta adat pengukuhan serta penyambutan para petinggi/pejabat ke pulau Enggano, yang berada Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. 

Dalam tari perang itu, melibatkan penduduk asli Enggano. Baik dari kalangan orangtua, dewasa maupuan remaja serta kalangan kaum pria dan perempuan, yang mana tidak kurang dari 80 orang. 

Ketua Lembaga Suku Adat Budaya Enggano, Harun Kaarubi bercerita, tari perang diketahui sejak zaman dahulu yang merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Enggano. 

Harun menyampaikan, tari perang adalah kisah salah satu suku di Enggano yang sedang melangsungkan pesta adat. Namun, saat pesta adat sedang berlangsung muncul masyarakat dari adat lain datang dan langsung menyerang rombongan masyarakat adat yang berpesta. 

Penyerangan itu, sampai dia, masyarakat suku membawa senjata pusaka berupa tombang dan parang serta ''Kamiyu'' alat tiup tradisional untuk memanggil masyarakat yang terbuat dari kerang laut. 

''Masyarakat yang mengikuti tari perang menggunakan pakaian yang terbuat dari alam. Untuk perempuan mengenakan banju yang terbuat dari daun pisang. Begitu juga dengan kaum pria,'' kata Harun, beberapa waktu lalu.

''Dibagian atas kepala masyarakat mengikatkan daun Kitoh itu dikenakan kaum pria dan perempuan,'' sambung Harun. 

Senjata pusaka parang dan tombak dalam tari yang dibawakan oleh masyarakat lima suku dan satu suku pendatang itu, lanjut Harun, sudah tidak menggunakan asli dalam arti sudah replika atau senjata yang terbuat dari kayu. 

Hal tersebut, sampai dia, untuk menghindari kecelakaan saat tari perang berlangsung. Sebab, kata dia, beberapa waktu lalu masyarakat yang ikut tari perang sempat kesurupan yang diduga kerasukan arwah nenek moyang. Akibatnya, kata dia, salah satu masyarakat menjadi terluka.  

''Sejak kejadian itu senjata pusaka tidak digunakan lagi dan disimpan. Senjata pusaka masih ada sekira 100-an lagi,'' ujar Harun, yang mengetuai enak suku di Enggano ini. 

Ia menambahkan, alat tiup ''Kamiyu'' yang digunakan dalam tari perang tidak gunakan secara sembarang. Sebab, jelas dia, salah-salah akan terjadi ''bencana''. Kamiyu sendiri, sampai dia, untuk memanggil masyarakat suku Enggano berkumpul. 

Selain itu, beber pria 70 tahun ini, memiliki kode memiliki makna tersendiri. Jika peniupan tiga kali putus-putus bertanda ada tanda bahaya yang datang. Sementara jika ditiup panjang sebanyak tiga kali berarti ada musyawarah atau acara pernikahan. 

''Jika ada acara pernikahan atau acara adata kita tidak ada mengantarkan undangan. Tapi, hanya meniupkan kamiyu tiga kali,'' ujar Harun. 

''Ketika ada bencana maka kamiyu ditiup secara putus-putus. Kamiyu tidak ditiup sembarangan. Kondisi ini masih digunakan oleh suku di Enggano,'' tandas Harun.(**)

Tarian Adat Asli Pulau Enggano